Sebagai
orang-orang percaya, Tuhan menghendaki agar kita semua bisa memasuki
rencana-Nya dan mewujudkan isi hati-Nya di atas muka bumi ini. Setiap
kita memang memiliki kehidupan dan prioritas yang berbeda-beda, tapi
ketika kita mulai menyatu dalam corporate destiny di sebuah
gereja lokal dan kita mengambil keputusan untuk memprioritaskan rencana
Tuhan sebagai prioritas terpenting dalam hidup kita, ketika itulah corporate authority akan mulai tercipta. Setelah corporate authority tercipta, barulah kita bisa berkata “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu.”
Apa sebetulnya yang dimaksud dengan Kerajaan Allah? Kerajaan Allah adalah
sebuah wilayah teritorial ilahi, tempat di mana Tuhan berkuasa dan
memerintah. Sebagai contoh: ketika kita berbicara mengenai Kerajaan
Inggris, pada awal tahun 1800-an, Kerajaan Inggris bukan hanya ada di
Eropa tetapi meliputi seluruh dunia yang saat itu menjadi wilayah
teritorial Inggris. Bedanya, teritorial Kerajaan Inggris adalah
teritorial secara lahiriah, sementara teritorial Kerajaan Allah adalah
teritorial ilahi dan meliputi seluruh alam semesta, termasuk juga
dimensi rohani tempat di mana Tuhan berdiam, yang kita sebut sebagai
‘sorga’.
“TUHANlah
yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di
dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan
menegakkannya di atas sungai-sungai” (Maz. 24:1-2)
“Sebab TUHANlah yang empunya kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa” (Maz. 22:29)
Sesungguhnya
Tuhan bukan hanya memerintah di sorga tetapi juga atas seluruh alam
semesta, dan sebagai pencipta alam semesta, Ia memiliki kerinduan agar
anak-anak-Nya juga dapat berkuasa dan memerintah atas seluruh bumi (Kej.
1:26) – inilah pola awal yang Tuhan miliki ketika Ia berbicara tentang
memerintah dan berkuasa (baca juga Maz. 8:2-10).
Ketika
kita menghampiri Dia dan memanggil Dia “Tuhan”, sebetulnya kita tidak
layak untuk meminta apapun juga, karena sebagai Tuhan Dia hanya layak
untuk disembah. Akan tetapi Dia tidak menghendaki kita mengenal Dia
hanya pada keberadaan-Nya sebagai Tuhan; Dia juga memperkenalkan
diri-Nya sebagai “Bapa”. Ketika Dia menyebut-Nya diri sebagai Bapa,
artinya ada orang-orang yang juga Dia sebut sebagai “anak”, dengan
tujuan agar si anak dapat mewarisi otoritas yang sama seperti yang Bapa
miliki.
Ketika
Tuhan menciptakan manusia dan menaruh mereka di Taman Eden, ada satu
perintah yang Ia berikan yaitu agar manusia memultiplikasikan dirinya
dan menaklukkan setiap area kehidupan yang ada, sampai terjadi perubahan
dan pemulihan di segala aspek (Kej. 1:28). Namun untuk itu ada sebuah
syarat yang Ia berikan kepada manusia (Kej. 2:16-17), bahwa sebagai
anak, kita akan bisa memerintah dan menguasai bumi selama kita terus
belajar hidup dalam ketergantungan penuh kepada Dia.
Akan
tetapi manusia lebih memilih untuk hidup independen dan tidak lagi
bergantung kepada Allah (Kej. 3:1-5), sehingga secara ‘resmi’ iblis
berhasil mengambil alih kekuasaan atas bumi ini (1 Yoh. 5:19; Luk.
4:5-6). Artinya, ada satu teritorial yang awalnya Tuhan miliki hilang
dari tangan-Nya; bukan disebabkan karena keteledoran-Nya sebagai
penguasa tetapi karena ketidaktaatan manusia yang selama ini Ia percayai
untuk memerintah dan berkuasa atas bumi.
Tetapi
Puji Tuhan, karena dari sejak awal ketika Tuhan melihat otoritas atas
bumi diambil oleh si Jahat, Tuhan langsung membuat rencana strategis
untuk secara legal mengambil alih kembali otoritas atas bumi ini: “Aku
akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara
keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan
engkau akan meremukkan tumitnya” (Kej. 3:14-15). Kata keturunannya di sini mengacu kepada seorang anak laki-laki.
Itu sebabnya ketika Hawa mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kain, Hawa berkata, “Aku telah mendapatkan seorang anak laki-laki oleh pertolongan Tuhan”
(Kej. 4:1). Dengan kata lain Hawa berpikir bahwa inilah anak laki-laki
yang Tuhan janjikan, yang akan mengembalikan otoritas atas muka bumi ke
tangan manusia; akan tetapi bukan itu “keturunan” yang Tuhan janjikan.
Jika kita membaca ayat berikutnya, kita akan melihat bahwa Iblis bahkan
berhasil membujuk Kain untuk menjadi seseorang yang mendengki dan bahkan
membunuh saudaranya sendiri, karena Iblis dapat memberikan kuasa dan
kemuliaan kepada siapa saja yang ia kehendaki dan yang menaati dia (Luk.
4:6).
Apa
yang iblis lakukan ini adalah menjiplak apa yang menjadi rencana Tuhan
untuk kemudian ia putar balikkan – ia mengambil alih kekuasaan atas bumi
ini dari tangan manusia dan memberikannya kepada siapa saja yang mau
membuat kekacauan di bumi ini (Kej. 4:6-7; 6:1-4). Siapa kaum raksasa
yang dimaksud dalam Kej. 6 ini? Jika kita mempelajari sejarah dari
rencana yang iblis miliki, ketika iblis mengetahui apa yang menjadi
rencana Tuhan yaitu melahirkan seorang anak laki-laki yang akan kembali
memulihkan otoritas manusia yang sudah hilang, ia berusaha untuk
mengacaukan peradaban manusia; ia membuat setiap wanita yang seharusnya
melahirkan seorang anak tidak bisa melahirkan anak sebagai garis
keturunan ilahi.
Itu
sebabnya hampir dalam setiap kasus pelecehan seksual, yang dijadikan
objek pelecehan itu seringkali adalah kaum wanita, karena dari merekalah
akan lahir benih “sang pembebas”. Begitu pula kadangkala kita mendapati
kaum prialah yang dirusak oleh iblis, karena iblis tidak tahu siapa di
antara kaum pria itu yang nantinya akan mengembalikan otoritas atas bumi
ini kepada manusia. Karena itu ras manusia dikacau dan lahirlah para
raksasa (Kej 6:1-4).
Kisah-kisah
selanjutnya menceritakan bagaimana setiap bayi laki-laki yang dianggap
istimewa langsung dijadikan incaran oleh iblis. Sebagai contoh: ketika
Musa lahir, Firaun bangkit; ketika Yesus lahir, bangkitlah Herodes untuk
membinasakan bayi laki-laki yang ada.
“Maka
tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan
matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua
belas bintang di atas kepalanya. Ia sedang mengandung dan dalam keluhan
dan penderitaannya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan. Maka
tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga
merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di
atas kepalanya ada tujuh mahkota. Dan ekornya menyeret
sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas
bumi. Dan naga itu berdiri di hadapan perempuan yang hendak melahirkan
itu, untuk menelan Anaknya, segera sesudah perempuan itu melahirkan-Nya. Maka
ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan menggembalakan semua
bangsa dengan gada besi; tiba-tiba Anaknya itu dirampas dan dibawa lari
kepada Allah dan ke takhta-Nya” (Why. 12:1-5)
Jika
kita membaca perikop di atas, yang dimaksud dengan ‘perempuan’ dalam
ayat itu bukanlah Hawa tetapi Gereja Tuhan (ayat 3 – Gereja yang
dibangun di atas dasar kesempurnaan korban Kristus dan diselimuti oleh
kemuliaan Bapa di sorga, yang memiliki posisi rohani yang berkemenangan
dan memiliki otoritas untuk memerintah di dalam roh). Ketika Gereja
Tuhan melahirkan ‘seorang anak laki-laki’, itulah dia yang Tuhan
nubuatkan dalam Kejadian 3. Itu sebabnya kita memiliki peranan yang
sangat penting untuk mengembalikan otoritas pemerintahan atas dunia ini
ke dalam tangan manusia.
Jika
kita mempelajari sejarah perjalanan iman para hamba Tuhan, kita akan
mendapati bahwa Tuhan membangkitkan Abraham untuk membangun sebuah garis
keturunan yang baru. Lalu kemudian Tuhan membangkitkan Musa untuk
membebaskan bangsa Israel dari perbudakan dan penindasan Mesir. Itu
semua adalah gambaran atau “uji coba” yang Tuhan lakukan untuk pada
akhirnya melalui Yesus – sang Anak yang diutus ke dunia dan selalu
berjalan dalam ketaatan pada kehendak Bapa, bahkan taat sampai mati –
iblis tidak memiliki pilihan lain selain mengembalikan otoritas bumi ke
tangan manusia yang sudah berjalan dalam ketaatan.
Itu
sebabnya dalam Filipi 2:5-11 Alkitab berkata bahwa Allah sangat
meninggikan Dia. Perhatikan ayat 5, Paulus berbicara kepada jemaat: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama...”.
Kata “kamu” di sini bukan semua manusia atau semua orang percaya,
melainkan orang-orang yang sudah lahir baru dan yang telah mewarisi DNA
Kristus, untuk menaruh pikiran dan perasaan yang juga terdapat di dalam
Kristus Yesus.
Ketika
Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh tentara Amerika pada tahun 1945,
seketika itu juga Jepang menyerah tanpa syarat. Masalahnya,
tentara-tentara Jepang di Indonesia yang belum mendengar tentang berita
kekalahan Jepang bertindak seakan-akan mereka masih berkuasa, demikian
pula masih ada daerah-daerah dan orang-orang di Indonesia yang masih
tetap tunduk kepada tentara Jepang. Sampai suatu kali ketika mereka
mendengar dari radio bahwa Kekaisaran Jepang menyatakan diri takluk
kepada Sekutu, seketika itu juga mereka bangkit untuk melawan karena
mereka tahu bahwa Jepang sudah kalah.
Hal
yang sama sudah terjadi 2000 tahun yang lalu; ketika Yesus menang atas
maut, Ia kembali memerintah dan segala kekuasaan dan otoritas atas dunia
sudah dikembalikan lagi ke tangan manusia. Masalahnya, masih banyak
teritorial-teritorial yang belum mendengar kabar baik tersebut – mereka
masih dikendalikan di bawah kekuasaan si Jahat.
Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada
akhir zaman." (Mat 28:18-20).
Itu
sebabnya Yesus memberikan kita perintah untuk ”pergi” menjangkau
berbagai belahan ‘dunia’ – dunia pendidikan, dunia politik, dunia
bisnis, dan dunia-dunia lainnya – yang masih belum mengetahui bahwa
otoritas sudah Tuhan kembalikan ke tangan manusia lewat sang Anak.
Dengan kata lain, Yesus memerintahkan kita untuk memultiplikasikan diri
kita, memasuki setiap area kehidupan dan melakukan perubahan, dan
memastikan terjadi perubahan nature sehingga terjadi pemulihan dalam segala aspek kehidupan.
Artinya,
kita bukan hanya ditetapkan untuk menjadi ‘pangeran Allah’ tetapi Tuhan
juga menunjuk kita sebagai ‘duta besar’ Kerajaan Sorga. Seorang duta
besar hanya tunduk kepada hukum dari negara yang mengutusnya dan
memiliki kekebalan terhadap hukum dari negara tempat ia diutus. Demikian
pula kita, sebagai duta besar Kerajaan Sorga, kita tidak perlu lagi
hidup menurut hukum dunia ini.
Oleh
karena itu kitab Ibrani berkata bahwa Tuhan membawa kita untuk hidup
dalam Kerajaan yang tak tergoncangkan. Sementara hukum dunia ini terus
mengalami perubahan dan kegoncangan, sebagai duta besar Kerajaan Sorga,
kita hidup dalam hukum yang berbeda. Ketika kita sebagai orang-orang
benar tinggal di dalam negeri, ada harapan bagi negeri untuk alami
perubahan.
Blessed To Bless...
0 comments:
Post a Comment